Leave a comment

BAHASA ANAK-ANAK YANG MENGALAMI CACAT GANDA (TUNARUNGU TUNAGRAHITA)

AUTHOR: DONALD MOORES

Alih bahasa oleh IIM IMANDALA

 

Moores membedakan antara anak-anak cacat ganda (gangguan pendengaran + tunagrahita) yang memiliki penguasaan/perolehan bahasa dengan yang tidak memiliki itu. Bagi anak-anak tersebut diperlukan proses perolehan/ penguasaan dan penggunaan bahasa melalui proses perolehan bahasa tahap awal yang disebut oleh Moores adalah perolehan/penguasaan bahasa “natural” (natural= menciptakan lingkungan yang kondusif dan pengajaran yang fungsional). Tahap selanjutnya adalah mengamati proses penacapaian tujuan dan mengajarkan keterampilan komunikasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, tentunya harus fungsional. Selanjutnya, Dr. Moores juga mengkaji beberapa mode komunikasi yang dapat mendukung pada pencapaian tujuan penguasaan dan penggunaan bahasa anak-anak ini.

Pendahuluan

Perolehan/penguasaan dan penggunaan bahasa dilihat sebagai satu karakteristik bahasa manusia. Terbukti bahwa anak yg normal meskipun hidup dalam lingkungan yang minimal stimulasi bahasa, ternyata perolehan dan penggunaan bahasanya tetap berkembang. Tentunya dengan syarat normal (tidak mengalami gangguan pendengaran).

Moores berasumsi bahwa anak-anak yang mengalami hambatan perolehan dan penggunaan bahasanya, dan berkembang secara alamiah saja, maka akan mengalami gangguan emosi, seperti pada anak autism.

Begitu pula pada anak-anak yang tergolong tuli atau mengalami gangguan/kehilangan pendengaran, tentunya mereka terhambat dalam perolehan bahasa dan penggunaannya. Bahkan tidak hanya pada emosinya, pada perilaku-perilaku sehari-hari, terkadang menunjukkan perilaku seperti anak terbelakang mental dan prestasi belajar yang sangat rendah. Namun bagi anak-anak ini, seiring kematangan perkembangan emosinya, mereka lebih memiliki control emosi.

Oleh karena itu masalah perolehan bahasa dan penggunaannya ini sering dikaitkan dengan perkembangan intelektual sehingga dalam beberapa decade ke belakang banyak para professional menyamakan pengertian anak yang mengalami gangguan pendengaran dengan anak-anak terbelakang mental (tunagrahita).

Sehingga hambatan perolehan dan penggunaan bahasa ini menyebabkan kerancuan dalam system layanan pendidikan bagi anak yang mengalami gangguan pendengaran dengan anak-anak terbelakang mental. Mereka sering dicampur aduk, padahal merupakan kondisi yang berbeda. Moores menemukan bahwa anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran ada pada dua lembaga layanan, yaitu (1) berada di sekolah dan kelas khusus anak-anak tuli (2) berada pada institusi bagi anak-anak dan orang dewasa yang mengalami terbelakang mental. Bahkan Power dan Quigley (1971) menyarankan bahwa di sekolah-sekolah bagi anak tuli harus disediakan ruangan/layanan bagi anak-anak yang mengalami terbelakang mental mampu didik hingga mampu latih.

Meskipun anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran sering menampakkan perilaku terbelakang mental, anak itu tidaklah terbelakang mental. Anak yang mengalami gangguan pendengaran setelah memperoleh penanganan untuk meningkatkan penguasaan dan penggunaan bahasanya akan menunjukkan prestasi belajar yang meningkat, memiliki keterampilan komunikasi yang lebih baik serta memiliki perilaku adaptif dan control emosi yang baik.

Jadi Bahasan utama dalam tulisan ini adalah menekankan bahwa anak tuli yang mengalami terbelakang mental bukanlah tergolong pada anak-anak terbelakang mental mampu didik. Selain itu, tulisan ini juga untuk membantah bahwa sudah terlalu sering para ahli yang tidak memiliki pengetahuan tentang gangguan komunikasi yang berasumsi bahwa gangguan bahasa dan masalah bicara merupakan cirri utama dari anak-anak terbelakang mental. Namun keduanya membutuhkan penanganan gangguan bahasa.

 

 

Kondisi Intervensi Bahasa Terhadap Penyandang Gangguan Pendengaran + Terbelakang Mental

 

Salah satu perkembangan mutakhir dalam kajian intervensi bahasa adalah ditemukannya kebermanfaatan system komunikasi tanpa bicara, meliputi komunikasi manual (Moores, 1974, 1979; Wilbur, 1976), system grafik (Clark & Woodcock, 1976), dan alat bantu komunikasi ekspresif bagi anak-anak cacat yang nonvokal berat (McDonald, 1979). Hal itu mendorong minat para peneliti untuk mengakaji system komunikasi itu. Diantaranya para peneliti berupaya mencari bukti efektifitas penggunaan komunikasi manual sebagai alat bantu/media dalam dunia pedagogi (pendidikan) bagi penyandang tunarungu/tuli/gangguan pendengaran di USA. Pada saat yang sama pula, dilakukan penelitian serupa pada subyek yang mengalami terbelakang mental/tunagrahita dalam berbagai seting.

Dibalik antusias yang tinggi tentang kajian dan penggunaan komunikasi manual atau system komunikasi tanpa bicara ini, perlu ada hal-hal yang menjadi catatan untuk diperhatikan. Meskipun ada beberapa bukti penelitian yang menyatakan bahwa system komunikasi nonvokal (tanp bicara) ini efektif setidaknya bagi beberapa anak, tapi belum tentu efektif untuk semua jenis atau tipe kelainan. Perlu diingatkan tendensi seperti berikut bahwa sesuatu berhasil terhadap sekelompok anak belum tentu berhasil untuk semua anak. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan anak-anak cacat ganda (dalam hal ini gangguan pendengaran + terbelakang mental), kebanyakan orang belum mengenal kondisi anak-anak tesebut. Orang-orang sering memberi penanganan dengan menganggap bahwa kondisi terebut merupkan penjumlahan antara satu kelainan dengan kelainan yang lain. Padahal tidak bisa seperti demikian. Kondisi cacat ganda seperti demikian sangatlah kompleks, dapat meliputi area pembelajaran, psikologis, kesulitan berabahasa dan lain-lain. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan anak-anak yang hanya mengalami satu kecacatan saja, misalnya tuli saja atau terbelakang mental saja. Kondisi itu menjadi berbebda dikarenakan anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran + terbelakang mental memliki lebih dari satu kelainan gabungan – diantaranya  gangguan fungsi visual, kecerdasan, hambatan berbahasa, persepsi, konsentrasi, motorik, gangguan keseimbangan tubuh – seingga sangat berbahaya dampaknya terhadap perkembangan anak jika tidak memperhatikan kondisi itu terutama dalam konteks individualisasi pembelajaran.

Perlu diperhatikan pula, dimasa lalu kita telah terpengaruhi oleh keyakinan implicit bahwa tujuan pendidikan yang harus dicapai terlalu luas dan belum banyaknya teknik-teknik khusus. Pengaruh itu menyebabkan arah pemikiran kepada normalisasi kondisi anak sehingga bedampak pada penanganan bagi anak-anak penyandang cacat. Misalnya pada anak-anak ini yang dipaksa untuk mengikuti lingkungan yang dianggap normal. Pengaruh itu pun mengabaikan pertimbangan yang lengkap agar anak memperoleh lingkungan belajar yang tepat.

Kemudian tentunya berlanjut pada penentuan tujuan pembelajaran yang cederung ditentukan secara seragam. Terjadilah kerugian bagi anak-anak penyandang cacat dan masih terjadinya pemisahan meskipun dalam konteks lest restrictive environment. Anak-anak ini dipaksa mengikuti arus utama/norma (mainstreaming) sehingga mereka dipersiapkan terlebih dahulu sebelum dapat mengikuti lingkungan belajarnya yang dianggap normal. Itulah sedikit dampak negative dari konsep normalisasi-lest restrictive environment-mainstreaming. Terjadilah misperception dan misconception maka terjadilah pemahaman bahwa anak-anak penyandang cacat seperti autistic, multihandicapped, terbelakang mental dan lain-lain, tidak dapat mengikuti pelajaran akademik bersama teman-teman sebayanya dalam setting kelas regular. Meskipun ada pengecualian bagi anak-anak tunarungu dan tunanetra yang dainggap tidak memiliki gangguan intelelktual, tetap bisa mengikuti belajar akademik bersama anak-anak pada umumnya. Padahal dampak dari ketunarunguan dan ketunanetraan dapat menjangkau pada hambatan-hambatan itelektual, bahasa, dan perkembangan psikologis, sehingga akan berpengaruh pada kemampuan belajar akademiknya.

Dalam kaitannya dengan kasus cacat ganda/tunarungu yang terbelakang mental ini maka system pendidikan harus tetap memberikan alternative penggunaan berbagai system komunikasi bagi anak-anak ini. Anak tunarungu ganda ini akan sangat membutuhkan keterampilan komunikasi. Bahkan dalam konteks normalisasi, komunikasi manual dapat bermanfaat. Oleh karena itu system komunikasi ini sangat disarankan untuk diperkenalkan sedini mungkin. Ada beberapa bukti penelitian bahwa system komunikasi manual dapat membawa dampak positif terhadap perkembangan bahasa (Moores, 1974, Wilbur, 1976, 1979). Termasuk pula di dalamnya subsitem komunikasi manual meliputi mode grafik dan mode system symbol komunikasi (Clark & Woodcock, …, McDonald & Schultz, 1973). Inilah salah satu tujuan ditulisnya makalah ini yang didalamnya juga mencakup perbedaan aspek-aspek system komunikasi tanpa bicara bagi anak tunarungu terbelakang mental.

Harus diperhatikan pula mengenai konteks lingkungan alamiah anak itu berada ketika membuat symbol, grafik atau mode ini. Itu semua harus disesuaikan dengan kemampuan, kondisi, dan lingkungan social budaya anak. System komunikasi alternative ini dapat menjadi prioritas tersendiri atau dikoordinasikan dengan system komunikasi bicara, tergantung kepada karakteristik dan perkembangan kemampuan bahasa anak. Terdapat beberapa hal yang dapat menjadi alasan dipilihnya system komunikasi nonvokal ini (Moores, 1979):

–          Sebagai system alternative yang dapat digunakan sebagai bagian dari salah satu prosedur diagnose untuk menentukan pola-pola komunikasi yang masih dapat digunakan. Merupakan langkah awal untuk mengetahui kemampuan system komunikasi yang lain secara umum atau untuk memahami kondisi lingkungannya.

–          Dapat menjadi system yang efektid untuk memperoleh informasi factual dan memahami hubungannya.

–          Untuk dikembangkan sebagai mekanisme mengekspresikan apa yang dibutuhkan

–          Dikembangkan sebagai dasar pengembangan fungsi-fungsi bahasa yang lebih luas.

–          Dapat digunakan dalam rangkan mengembangkan dan atau memperkuat kemampuan bahasa oral.

–          Mengambangkan pemahaman seseorang mengenai komunikasi yang efektif.

 

Komunikasi Manual

Penggunaan komunikasi manual telah mengalami peningkatan yang cukup tajam, terutama digunakan pada kalangan anak-anak tuli, terbelakang mental, dan tunarungu terbelakang mental, begitu pula pada anak-anak autistic. Penggunaan komunikasi ini meliputi pula berbagai variannya, tergantung tujuannya. Misalnya, anak tuli orang tua yang tuli akan didorong untuk banyak belajar berbagai varian komunikasi manual sejak dini sehingga bahasa “ibu” dapat berkembang. Orang tua “nomal”  punya anak tunarungu akan banyak belajar varian bahasa isyarat (American Sign Language) untuk mengajarkan bahasa Inggris kepada anaknya yang dikoordinasikan/dikombinasikan dengan latihan bicara dan itu dilakukannya hampir setiap hari. Ada juga orang tua yang menggunakan metode Rochester, di dalamnya orang tua mengajarkan ejaan jari yang dikoordinasikan dengan pengucapannya. Mengapa melakukan itu semua, karena dianggap tidak realistic mengajarkan bahasa kepada anak yang mengalami hambatan (terutama perceptual dan integrasi motorik) jika hanya menggunakan satu varian saja.

Komunikasi manual memiliki landasan yang tidak terbatas dalam penggunaanya, biasanya dikembangkan untuk tujuan-tujuan khusus. Namun, terkadang tidak digunakan juga. Seperti yang telah dilakukan oleh Webster, MecPherson, Sloman, Evans, dan Kucher (1973), mereka menggunakan pendekatan gesture dalam melatih anak-anak laki-laki autistic nonvokal agar mengikuti pembelajaran dan memberikan pembelajaran kepada anak-anak itu. Rutter (1968) melaporkan bahwa banyak anak-anak autistic mampu merespon dengan tepat terhadap instruksi gesture atau demonstrasi (peragaan) tapi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Churchill (1972) telah sukses menerapkan dan menggunakan bahasa isyarat sederhana kepada anak-anak autistic dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir asosiatifnya. Baumstrog (1976) berhasil mengajarkan isyarat kepada tiga orang anak autistic tapi kemampuannya itu tidak digeneralisir ketika anak berada di luar klinik karena isyarat itu tidak digunakan secara konsisten sehari-hari di luar klinik.

Masih banyak hasil-hasil penelitian yang lain terutama terhadap subyek tunarungu, terbelakang mental, dan tunarungu terbelakang mental. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penggunakan komunikasi manual dapat digunakan pada orang dewasa tunarungu terbelakang mental yang baru belajar komunikasi manual. Jadi penggunaan komunikasi manual tidak dibatasi oleh usia. Bahkan menurut Moores (1976) komunikasi manual itu sudah dimiliki sejak lahir.

Dari berbagai penelitian itu juga menunjukkan bahwa komunikasi manual perlu dikoordinasikan atau dibarengi dengan dorongan agar anak berujar/mengucapkan apa yang diisyaratkannya. Hasil penelitian menunjukkan anak-anak tunarungu terbelakang mental lebih mudah memahami jika komunikasi manual dikoordinasikan dengan ucapan.

Memang banyak penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan komunikasi manual banyak dignakan oleh indvidu tuli/tunarungu, tapi dalam penggunaan yang luas dapat dimanfaatkan oleh individu-individu lain yang mengalami gangguan bahasa dan komunikasi. Maka dapat kita jumpai ada anak-anak autistic, terbelakang mental, atau anak-anak lain yang menggunakan komunikasi manual.

Dikarenakan dalam penggunaannya, komunikasi manual dikoordinasikan dengan ucapan, banyak keberhasilan yang memperlihatkan anak-anak yang tadinya nonvokal menjadi mampu mengucapkan sesuatu yang ia inginkan. Meskipun begitu, komunikasi manual bukan alat utama untuk mengajarkan berbicara tapi komunikasi ini merupakan fasilitator untuk berkomunikasi sebagai modal kemandirian.

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan pula bahwa komunikasi manual sangat terbatas ketika berbenturan dengan Bahasa Inggris yang memiliki karakter bahasa yang tidak konsisten. Terkadang anak bingung ketika menghubungkan mode atau isyarat atau gesture suatu bentuk kata dalam bahasa Inggris dengan cara pengucapannya. Oleh karena itu hasil penelitian menyarankan agar penggunaan komunikasi manual dalam bahasa Inggris tidak terpaku pada pengucapan tetapi lebih kepada makna dan fungsional.

Dari sekian banyak hasil penelitian di atas diharapkan memunculkan ide-ide yang lebih kreatif dan produktif sehingga komunikasi manual dapat berekembang lebih baik. Diharapkan pula memunculkan evaluasi yang mendalam terhadap penggunaan komunikasi manual ini.

 

Komunikasi Grafik

 

Komunikasi grafik merupakan perluasan dari komunikasi manual. Di dalam komunikasi grafik terjadi proses menghubungkan antara isyarat dengan bahasa tulisan, ejaan jari dengan ejaan huruf, isyarat dengan frase/kata atau kalimat. Dengan demikian, bagi anak-anak tuli terbelakang mental, komunikasi ini sulit dilakukan meskipun masih ada potensi untuk itu.

Bagi anak-anak lain komunikasi ini sangat baik dampaknya. Contoh, Schultz (1973) meneliti komunikasi ini pada anak cerebralpalsy yang diminta mengungkapkan apa yang diinginkannya melalui menghubungkan gambar dengan kata atau kalimat pada papan bahasa. Hasilnya menunjukkan anak cerebralpalsy itu mampu mengungkapkan lewat grafik tersebut dan menunjukkan peningkatan kemapuan bicaranya.

Komunikasi grafik bagi anak tunarungu terbelakang mental tidak serumit seperti pada anak di atas. Pada awalnya bisa dilakukan dengan menggunakan kartu kata yang bertuliskan “ya” “tidak”, untuk belajar mengungkapkan setuju atau tidak menyetujui sesuatu. Namun demikian, komunikasi grafik bagi anak tunarungu terbelakang mental hanya dapat berkembang pada beberapa anak saja itupun dalam situasi yang terbatas dan sederhana. Maksud situasi terbatas adalah hanya berkembang pada satu seting (tempat) saja, misalnya di klinik saja, tida bisa digenaralisasi.

 

Komunikasi Sistem Simbol

 

Komunikasi system symbol mengacu kepada komunikasi tanpa bicara yang menggunakan berbagai symbol dalam berbagai ukuran, warna, dan sebagainya, tujuannya adalah untuk membantu menerima dan mengekspresikan pesan. Ada tiga system symbol yang secara potensial dapat dikembangkan/digunakan oleh anak-anak tunarungu terbelakang mental, yaitu The Non-SLIP, Rebus, dan Bliss-Symbol System.

 

NON-SPEECH INITIATION PROGRAME (NON-SLIP). Non-SLIP dikembangkan oleh Carrier dan Peak (Carrier, 1974, 1976; Carrier & Peak, 1975) dan diperkuat oleh Premack (1970, 1971). Banyak digunakan kepada anak-anak tunagrahita berat.

Non-SLIP terdiri dari system symbol yang dibuat pada potongan-potngan plastic. Sistem ini dirancang untuk mengajarkan konsep-konsep keterampilan yang dibutuhkan untuk menguasai komunikasi bahasa fungsional. System ini berdasarkan asumsi bahwa kompleksitas system respon bicara dipengaruhi oleh penguasaan bahasa (Schiefelbusch, Ruder, & Bricker, 1976). Melalui potongan-potongan plastic itu anak menyusun sejumlah symbol sehingga menjadi kesatuan pesan yang ingin disampaikan secara tepat.

 

Sistem Rebuss (Clark & Woodcock, 1976) menggunakan symbol ideografik yang biasanya digunakan dalam pengajaran membaca. System ini juga digunakan secara luas pada  berbagai kasus yang mengalami hambatan bicara dan komunikasi. Bahkan system ini juga digunakan pada anak non handicapped sebagai salah satu mekanisme untuk mengembangkan keterampilan pra membaca berbarengan dengan system ortografi (ejaan) tradisional.

Clark, Moores, dan Woodcock (1975a, 1975b) menggunakan Sistem Rebus dikombinasikan dengan The Minnoseta Early Language Development Sequence (MELDS), mode vocal, dan ASL.

 

Bliss Symbol System (Bliss, 1965; Clark & Woodcock, 1976; Mc…, 1979) lebih memerlukan perhatian dibandingkan dengan system tanpa bicara yang lainnya. System ini hampir sama dengan system Rebus, keduanya membuat symbol dari suatu konsep. Sistem Bliss lebih menyeluruh dalam membuat symbol, mencakup karakter alphabet, symbol dan kata. Bliss memiliki rumusan alphabet tersendiri.

 

Jika dipertanyakan masalah efektifitas ketiga system tersebut belum banyak penelitian yang mengkaji hal itu. Hal tersebut dikarenakan sangat bergantung kepada perbedaan fungsi dari setiap system dan tergantung pada kebutuhan setiap anak. Tapi diperkirakan Sistem Rebus lebih mudah/sederhana untuk dipelajari lebih awal. Clarck (1977) membandingkan tiga system tersebut itu dengan system ortografik/ejaan tradisional. Hasilnya menunjukkan bahwa system ejaan tradisional lebih sulit dipelajari dibandingkan dengan system symbol. Jika diurutkan dari yang termudah maka urutannya adalah Rebus, Bliss dan Non-SLIP. Namun dalam penerapanya boleh saja guru mengkombinasikan ketiga system tersebut.

 

Rangkuman

Esesnsi dari tulisan ini adalah terdapat empat mode komunikasi yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan komunikasi dan berbahasa pada anak-anak tunarungu terbelakang mental. Mode komunikasi itu adalah:

1.      Mode vocal

2.      Mode manual

3.      Mode grafik

4.      Mode system symbol

Sering ditemukan bahwa penggunaan mode komunikasi itu saling dikoordinasikan, sedikit yang digunakan berdiri sendiri. Dalam beberapa kasus, mode komunikasi itu disesuaikan dengan tujuan-tujuan tertentu dan akan dipiling langsung oleh guru untuk mengajar atau untuk mengembangkan keterampilan spesifik. Terdapat banyak teknik dan program yang telah dikembangkan agar system komunikasi ini dapat digunakan oleh berbagai anak yang mengalami hambatan. Dan diantara itu ada banyak yang sudah dimodifikasi sehingga bisa dengan tepat digunakan bagi anak-anak tunarungu terbelakang mental.

About Iim Imandala

Dapat dihubungi melalui email : iim_imandala75@yahoo.co.id

Leave a comment